Kamis, 20 November 2008

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang meminjam dari sana-sini. Kita bisa melihat akar kata-kata bahasa Indonesia dari berbagai bahasa, bahkan yang tidak kita duga-duga (misal : boneka dari bhs Spanyol (atau Portugis ya ?) boneca, kerbau dari bhs tagalog carabau). Itu kata Indonesianis dari Eropa yang namanya siapa saja saya lupa. Lihat di Republik Funky ! (Tidak suka kata funky-nya ? Salahkan Harry Roesli).

Malah sesungguhnya, negeri Indonesia adalah negeri bayangan.

Tidak percaya ?

Orang Jawa, Sumatra, Kalimantan, dengan segala pernak-perniknya sudah ada bahkan sebelum orang mengerti kalau mereka bisa disebut 'Jawa, Sumatra, Kalimantan, dsb.' Mereka berdagang, berhubungan lewat pernikahan dan pertukaran budaya, bahkan memetik pelajaran dan kebijaksanaan serta menghasilkan berbagai karya utama walaupun inspirasinya datang dari perang dan bencana alam. Coba saja pikir : Indonesia, yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah produk kepentingan politik yang lahir akibat pemikiran manusia yang kelewat paranoid tentang bagaimana menjaga supaya wilayah tempat tinggalnya tetap berpagar dan penduduknya bisa sama-sama makan sampai kenyang (kalau bisa juga mati karena sebab alami). Dengan kata lain, sebabnya mengapa orang-orang paranoid itu menjadi penjajah.

Craig Venter yang waktu kecilnya bengal ternyata saat dewasa membuktikan bahwa semua orang di dunia ini memang berasal dari satu lelaki dan perempuan yang berawal di Afrika. Silsilah semua ras adalah sebagai jejaring rumit, dan perbedaan budaya serta produk-produknya termasuk bahasa berawal dari adaptasi dan variasi ras akibat kondisi kehidupan serta variase gen yang berbeda-beda setelah migrasi. Jadi, pada dasarnya, kalau orang Amerika memelajari budaya Jawa, dan sebaliknya orang Indonesia memelajari, misalnya, budaya Jepang, Irlandia, atau Mesir (jangan dikira hanya sedikit), berarti itu sama dengan memelajari budaya saudara sendiri, secara harfiah. Jadi salah satu bagian otak saya yang mungkin sudah agak gila bertanya : untuk apa repot mempermasalahkan siapa harus memelajari budaya tradisional apa ? Siapa sebenarnya yang berhak mengklaim milik siapa sebuah kebudayaan ? Atas dasar kesetiaan kepada sebuah negara bayangan, atau ego pribadi ?

Tidak ada komentar: